Sejarah Anestesi Inhalasi

Spesialisasi anestesi dimulai pada pertengahan abad kesembilan belas dan didirikan secara resmi kurang dari enam puluh tahun yang lalu. Orang jaman dulu menggunakan biji opium, daun koka, akar mandrake, alkohol, dan bahkan flebotomi (sampai  menghilangkan kesadaran) untuk memungkinkan ahli bedah beroperasi. Orang Mesir kuno menggunakan kombinasi biji opium (mengandung morfin) dan hyoscyamus (mengandung scopolamin); kombinasi serupa, morfin dan skopolamin, telah digunakan secara parenteral untuk premedikasi. Yang telah terjadi pada regional anestesi pada masa lampau meliputi penekanan saraf tubuh (iskemia nervus) atau pemberian dingin (cryoanalgesia). Suku Inca telah mempraktekkan anestesi lokal ketika ahli bedah mereka mengunjah daun koka dan membubuhinya pada luka operasi, khususnya untuk trepanasi pada nyeri kepala.

Evolusi pembedahan modern terhambat bukan hanya karena buruknya pemahaman tentang proses penyakit, anatomi, dan asepsis pembedahan, tetapi juga karena kurangnya teknik anestesi yang terpercaya dan aman. Teknik tersebut berkembang pertama kali melalui anestesi inhalasi, kemudian anestesi lokal dan regional, dan akhirnya pada anestesi intravena. Perkembangan anestesi pembedahan dianggap sebagai salah satu penemuan terpenting dalam sejarah manusia.

Karena jarum hipodermik belum diciptakan sampai tahun 1855, ahli anestesi pertama ditakdirkan untuk menggunakan agen inhalan. Dietil eter (dikenal pada waktu itu sebagai “eter belerang” karena diproduksi melalui reaksi kimia sederhana antara etil elkohol dan asam belerang) dipergunakan pertama kali pada 1540 oleh Valerius Cordus. Eter digunakan untuk berbagai kegunaan, tapi bukan sebagai agen anestetik pada manusia sampai pada 1842 ketika Crawford W. Long dan William E. Clark masing-masing secara bebas menggunakannya pada pasien pembedahan dan ekstraksi gigi. Namun, mereka tiddak mempublikasikan penemuannya, Empat tahun kemudian, di Boston, pada 16 Oktober 1846, William T.G. Morton melakukan publikasi pertama tentang demonstrasi anestesi umum untuk pembedahan menggunakan eter. Kesuksesan dramatis dari pertunjukan tersebut membuat ahli bedah yang mengoperasi berseru kepada penonton yang ragu-ragu: “Hadirin, ini bukan tipuan!”

Chloroform secara terpisah dipersiapkan oleh von Leibig, Guthrie dan Souberian pada 1831. Meskipun baru dipergunakan oleh Holmes Coote pada 1847, chloroform diperkenalkan dalam praktik klinik oleh Scott Sir James Simpson, yang memberikan pada pasiennya guna mengurangi nyeri persalinan. Namun ironisnya, Simpson hampir meninggalkan praktik medisnya setelah menyaksikan penderitaan pasien yang menjalani operasi tanpa anestesi.

Joseph Priestley membuat Nitrous Oksida pada 1772, dan Humpry Davy pertama kali mencatat sifat analgesiknya pada 1800. Gardner Colton dan Horace Wells disematkan sebagai yang pertama menggunakan Nitrous Oksida sebagai anestesi untuk ekstraksi gigi pada manusia pada 1844. Kurang potennya Nitrous oksida (butuh kadar 80% untuk analgesia tetapi belum bisa digunakan untuk anestesia pembedahan) membuat demostrasi klinisnya kurang meyakinkan dibandingkan dengan eter.

Nitrous oksida kurang populer di antara tiga zat anestesi inhalasi karena kurangnya potensi dan kecenderungan menimbulkan asfiksia ketika digunakan sendiri. Ketertarikan untuk menggunakan Nitrous oksida kembali lagi pada tahun 1868 ketika Edmund Andrews memberikan tambahan 20% oksigen; tetapi penggunaannya tetap kalah populer dengan eter dan chloroform. Ironisnya, Nitrous oksida adalah satu-satunya di antara ketiga agen itu yang masih dipergunakan secara luas sampai sekarang. Chloroform mengalahkan popularitas eter di banyak daerah, utamanya di Inggris, tetapi laporan aritmia jantung yang disebabkan oleh chloroform, depresi napas, dan hepatotoksisitasnya menyebabkan dokter-dokter meninggalkan penggunaannya dan memilih eter, utamanya di Amerika Utara.

Bahkan setelah perkenalan agen anestetik lain (etil klorida, etilen, divinil eter, siklopropan, trikloroetilen, dan fluroxene), eter tetap menjadi anestesi inhalasi standar sampai 1960-an. Satu-satunya agen anestesi inhalasi yang menyamai keamanan eter adalah siklopropan (diperkenalkan pada 1934). Namun, keduanya sangat mudah terbakar, dan keduanya telah tergantikan oleh agen anestetik inhalasi hidrokarbon poten terflorinasi yang tidak mudah terbakar seperti: halotan (dikembangkan 1951, dirilis 1956), metoksifluran (dikembangkan 1958, dirilis 1960), enfluran (dikembangkan 1963, dirilis 1973), dan isofluran (dikembangkan 1965, dirilis 1981).

Dua agen terbaru tersebut saat ini adalah yang paling populer di negara berkembang. Desfluran (dirilis 1992), memiliki properti yang diinginkan seperti pada isofluran juga memiliki uptake dan eliminasi yang cepat (hampir secepat Nitrous oksida). Sevofluran memiliki kelarutan rendah dalam darah, tetapi kecurigaan toksisitas potensial dari produk degradasinya menyebabkan penundaan rilisnya sampai pada 1994. Kecurigaan ini telah terbukti hanya teoritis saja, lalu sevofluran, bukannya desfluran, menjadi anestesi inhalasi yang paling digunakan secara luas di Amerika, menggantikan peran halotan untuk anestesi pediatrik.


terjemah bebas dari sini


Disclaimer: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk dijadikan referensi ilmiah melainkan sebagai bacaan ringan semata.